Kawasan Sudirman, Maret 2001
”Dan!” sejurus nada merdu berseru kecil
memanggilnya. Membuat si pemilik nama ‘Dan’ itu menoleh mencari sumber suara tadi.
Sesaat kemudian, Dani, laki-laki itu, terkesima ketika matanya tertumbuk pada
seraut wajah cantik dan manis. Raut wajah yang tidak asing lagi bagi matanya,
pun bagi hatinya. Seraut wajah yang sontak membuatnya mendesiskan nama gadis
itu, lirih. Sekedar menegaskan dirinya sendiri, bahwa gadis itu benar
dia adanya. Ya, Lala!
Lala, gadis yang barusan berseru
memanggilnya, sesaat menatapnya, juga dengan pandangan terkesima. Sedetik
kemudian ia berjalan perlahan ke arahnya. Langkahnya anggun dan gemulai, meski
tetap terkesan lincah menyusul gerak langkah Dani yang terhenti. Begitu dekat,
tatapnya yang lembut seperti menekan dada Dani, membuatnya sesaat tak mampu
bernafas. Namun dipaksanya menyapa gadis itu dengan runtunan kata tak tertata
rapi.
”Hai, La.. Eeh, apa kabar? Lama ya, nggak ketemu! Kok nggak pernah mampir lagi ke 'blog'ku, nggak pernah bales e-mail, nggak pernah keliatan on
line lagi. Engh.. Aku kira kamu udah
nggak di Jakarta? Trus.. sekarang
kerja dimana?” runtunnya panjang lebar. Menutupi kegugupannya.
Lala tersenyum dalam-dalam. Dia tahu Dani
sangat gugup, seperti juga dirinya. Namun setidaknya ia lebih mampu
menyembunyikan kegugupannya. Senyumnya mengembang untuk menyembunyikan
kegugupannya.
”Aku? Well, here we are.. we met here. Aku masih berkantor di sekitar
sini, masih di tempat yang lama. Hey,
apa bukan suatu kesengajaan kamu ke daerah ini, Dan ?
... Ups, sorry.. Just kidding. Hahaha,” candanya kaku, jayus.
Beberapa pasang mata orang yang lalu lalang
menoleh ke arah mereka. Dani yang tak biasa menjadi pusat perhatian, merasa sedikit
tak nyaman. Namun Lala tersenyum lebar, seakan tak peduli orang-orang itu.
Dani berusaha membalas senyum Lala. Meski
sejujurnya ia tak tahu apakah yang terulas di bibirnya itu sebaris senyum atau
apa. Kalaupun tersenyum, entah sekedar membalas senyuman Lala atau karena
memang ia masih diliputi perasaan tak nyaman karena berada di tempat keramaian.
Dalam kegugupannya, ia melayangkan satu
pertanyaan yang pada akhirnya dia sadari satu pertanyaan yang mungkin bodoh,
”Eeh, kamu… masih marah?” ucapnya terbata, sebagian karena berusaha
menyembunyikan perasaannya yang berkecamuk, sebagian lagi memang karena ia
menginginkan jawaban atas pertanyaan yang selama ini hanya bisa ia pendam. Aaargh, what a stupid question,
sesalnya.
”Aku baik-baik aja, Dan. Aku nggak
apa-apa, kok! Aku udah lupain
semuanya?” senyumnya lebar. Duuh, Dear
God.. bohong banget gue, batin Lala. Mana mungkin gue bisa ngelupain loe, Dan. Mana
mungkin gue bisa ngelupain apa yang pernah kita alami. Hm, berapa lama? Tiga
tahun?! Tiga tahun telah lewat, dan gue masih belum bisa ngelupain itu semua..
dan tiba-tiba aja loe hadir lagi di hadapan gue. Tiga tahun??? Hhh, rasanya
seperti baru kemarin’. Sebenarnya itu yang ingin ia katakan pada Dani.
Tapi bibirnya berkata lain. ”Sudahlah, Dan. Aku sudah maafkan kamu, kok.” ujarnya.
Dani menghela nafas, lega. ”Aku nggak tahu mesti gimana, La? Honestly, I’m so glad kalo kamu udah nggak marah ke aku. I’m so sorry,” senyum Dani, namun tak
urung wajahnya penuh penyesalan dan seperti ada sesuatu yang mengganjal di
dadanya, sesuatu yang tiba-tiba membuncah. Wajah Lala dengan matanya yang
bening, pipinya yang putih lembut semburat memerah. Dan Dani seperti menemukan
sesuatu di wajah itu. Sesuatu yang membuat tatapannya berubah seketika, tatapan
yang sarat makna.
Tatapan Dani yang seperti itu. Tatapan Dani yang membuat jantung Lala seperti
mendadak sontak berhenti. Akhh, Dani. Kenapa loe ngeliatin gue seperti
itu? Maksud loe apa, sih? Apakah loe belum berubah, Dan? Batin Lala tak
keruan. Tanpa ia sadari ditatapnya Dani dalam-dalam. Mata mereka bertemu. Dani
melihat ada sorot kelembutan dan kedamaian di mata Lala. Seolah ada sebuah telaga disana. Begitu
tenang, begitu menyejukkan, seperti mengajaknya untuk bermandi di sana.
Tersadar kemudian, mata mereka kembali merunduk. Lala tersipu.
”Dan…”
lirih Lala.
Dani menoleh. Di mata Lala, kembali
didapatinya sesuatu… Ah?! Tak salahkah penglihatannya? Betapa rindunya sorot
mata gadis itu? Untuknyakah, seperti dulu? Uff, terlalu geer rasanya.
”Gimana kabar kamu?” Lala mencoba mencairkan
suasana. ‘Gimana kabar... dia?’
Dani tersenyum lagi. Sedikit terasa getir
buat Lala. Masih seperti terakhir kali dia temui, ketika Dani harus
menjelaskan... ahh,
ditepiskannya bayangan itu. Dinikmatinya senyum getir Dani yang datar.
”Aku baik-baik aja, ‘La. Aku masih
di kantor yang dulu. Memang agak lebih sibuk sekarang, tapi sejauh ini
baik-baik aja.”
Duuh, kok jadi kaku begini,
sih? Batin Lala gemas. Untuk
menghilangkan kekakuan yang ia rasakan, Lala menggamit lengan laki-laki itu dan
melangkah perlahan. Lala merasakan ada sesuatu yang berubah pada diri Dani.
Ya, lengan laki-laki itu kini makin kekar. Damned! Betapa ia rindu
memeluk lengan kekar ini seperti dulu. Tiga tahun dia kehilangan laki-laki itu,
dan kerinduannya membuatnya tak ragu untuk menggamit lengan Dani dan
mengajaknya menyusuri trotoar sepanjang Jalan Jend. Sudirman, lebur dengan kepadatan lalu lintas dan
lalu lalang orang-orang di trotoar itu. Menjelang jam pulang kantor begini Sudirman
memang selalu padat seperti itu.
Dani terdiam seribu bahasa. Begitu banyak
yang ingin ia katakan, tapi bibirnya seperti terkunci. Sementara, di dadanya
ada gejolak yang begitu besar. Langkahnya yang lebar disesuaikan dengan langkah
kecil Lala, menyusuri kesibukan siang itu. Ah, dulu pun mereka pernah seperti ini. Berjalan
bersama. Saling menggamit. Tapi, itu dulu…
Lalu didengarnya Lala bercerita tentang
dirinya hingga akhirnya mereka bertemu disini. Sementara pikirannya menerawang entah kemana.
Seperti mengajaknya membuka lembar-lembar masa lalu, saat mereka masih bersama.
Saat pertama kali mereka bertemu. Saat-saat manis yang pernah mereka rasa. Oh, no! Jangan lagi perasaan itu hadir kembali, saat ini. Itu cuma
sepenggal kisah di antara seluruh kisah hidup mereka. Masa itu sudah terkubur
rapi. Lima tahun lalu itu cuma sekedar Intermezzo!
Kawasan Cilandak, suatu hari di tahun 1996...
”Hai juga!” Sebuah kalimat pendek
di pop up window menyapanya. Dani
tersenyum. Yess, dia ngebales!
Akhirnya ada pula yang menjawab panggilannya. Tidak percuma dia sabar menunggu.
User nickname yang satu ini memang
begitu menggoda. Lala. Pasti ceweq,
pikirnya.
”Apa kabar?” ketiknya lagi. Lalu menunggu lagi. Sedetik, dua detik, beberapa detik ia menunggunya dalam kekosongan. Ah, nggak sabar rasanya. Lalu, ”Kenalan, donk?” message selanjutnya dia kirimkan sebelum jawaban dari seberang
”Ih, promosi!” tiba-tiba message di windows bertitel ’Lala’ itu membalasnya. Yeaa, akhirnya! Dani tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Dia harus segera merespon message yang masuk barusan, agar nick di seberang
”Promosi? Dagangaan, kaleee?” balasnya bercanda, lalu enter. Wuzz, secepat kilat. Hehehe, untunglah jarinya nggak keriting-keriting banget, jadi bisa dengan cepat membalas message yang masuk.
Smiling icon muncul disusul dengan icon orang ngeledek. Hm, gitu, ya? Dani tersenyum.
”Weekkk, sok tahu!” balas Lala. Smiling icon muncul lagi di tiap akhir kalimat.
”Nick kamu manis, pasti kamu juga.” Dani memancing.
”Memang,” Lala menjawab pendek.
"A/S/L, dunk!?"
"Kamu dulu, deh!!"
"Yeee, gimana, segh? Itu
'kan diatas udah.. Tapi, okelah..
buat ce cakep aku nggak keberatan,
koq. Aku m/25/jaksel/kul-ker/k/m..."
"K/m... apa tuh??"
"Keren n Macho! Wakakakakak..."
[smiling icon]
"So, kamu? asl donk? 'kan
udah janji... [wink]."
"Siapa?"
"Ya, kamu lah.. Masa
pembantu kamu??!"
"No, I mean.. Siapa yang
janji? Aku 'kan
cuma bilang, 'kamu dulu'... dan ga janji setelah kamu trus aku kasih tahu asl.
Iya, 'kan ?!"
Waduh! Dani garuk-garuk kepalanya yang nggak gatal. "Bener
juga, sih!?"
"Nah, 'kan ...!?"
"Tapi nggak fair 'kan kalo aku udah kasih
tahu trus kamunya enggak. Pls, asl donk L..."
”Hahaha, okay, dee.. Ga usah
hopeless gitu, dunk..” sahut Lala akhirnya. Dan
ia pun akhirnya memberikan asl balasan. Akunya; ceweq, baru 22, Jakarta , dan bekerja di salah satu stasiun
radio swasta yang cukup terkenal.
Lalu chatting pun berlanjut makin seru. Topik
demi topik selanjutnya terasa nyambung buat mereka. Mulai dari topik yang lagi
rame dibicarakan sampai ke topik yang tidak jelas, pun, mereka bahas dengan
mengasyikan. Bener-bener 'klik’ banget. Hingga tanpa terasa dua jam lebih
mereka chatting. Sebelum off line,
akhirnya Lala memberikan e-mail address
dan nomer HPnya. Rasanya itu memang yang paling penting buat Dani.
Namun sesaat kemudian Dani tiba-tiba terlonjak seperti orang tersengat listrik tegangan tinggi. ”Anjrit, hampir lupa gue!!” ujarnya sambil bergegas mematikan komputer dan merapikan meja kerja sekenanya. Jam telah menunjukkan pukul tujuh lebih. Tergesa-gesa ia meninggalkan ruangan dan persis ketika tiba di lobby, Nokia N73-nya berdering. Nadia, pacarnya, bicara dengan nada tinggi di seberang sana.
Dani lupa malam itu mereka punya janji nonton bersama di PIM. Dan hingga jam segini ia belum juga muncul. Sambil mengumpat panjang lebar, Dani lari mendapati motor Suzuki RGR sportnya dan terbang sebisanya malam itu. Wah, malam ini bakal ribut lagi, deh, mereka!
***
”Halo...” sebuah suara lembut dan bernada terdengar
dari seberang sana. Merdu sekali.
Bening. Nadanya
riang, menandakan keceriaan dari si pemilik suara.
”Halo,
bisa bicara dengan Lala?”
”Ini siapa?” nada suara itu menyelidik, meski
tidak mengurangi kemerduan suaranya.
”Dani!”
"Dani??? Engh.. Ooh, Dani k/m, ya? Haiiii,
Dan.. It’s me, Lala!!" suara di seberang sana terdengar antusias. Dani
mendengar ada keriangan di nada bicara Lala. "Kenapa baru telpon sekarang?
Aku kira kamu nggak bakalan telpon.. Makanya aku males aja waktu kasih nomer telpon kantor
ke kamu kemarin dulu. ‘Dah hampir dua minggu, lowh!?" nadanya kenes.
"Hahaha. Segitunya.. Sorry, deh.. aku baru telpon. Cari waktu yang tepat aja.
Halaaahh.. apa coba, hehehe?"
"Well, I'm glad you call me
if you wanna know, Dan ." Aku Lala
polos.
Lalu, Dani menghela nafas lega
ketika sejurus kemudian mereka terlibat obrolan yang mengasyikan. Sesekali mereka tertawa. Dani begitu
terkesan dengan suara Lala di seberang sana. Begitu merdu. Tawa gadis itu pun lepas dan
renyah. Dan bicaranya begitu apa adanya. Pandai pula. Apa aja yang mereka obrolkan,
pasti ’nyambung’. Dani merasakan debar yang tiba-tiba saja hadir di dadanya. Gila, ni ceweq suaranya enak banget, batinnya
menikmati suara gadis itu. Dipejamkannya matanya saat mendengarkan gadis itu
bicara. Suara ’bening’ Lala membuatnya jadi malas memikirkan hal yang lain.
Percakapan pertama mereka di telpon sore itu
berakhir singkat. Sebenarnya ia masih ingin ngomong lebih banyak lagi supaya
bisa mendengarkan suara gadis itu lebih lama lagi. Namun, ia harus menanamkan
kesan pertama yang baik dimata gadis itu. Dan itulah saat dimana ia merasa makin
menyukai gadis bernama Lala ini.
Hey? Suka? Bagaimana mungkin? Meski memang lewat
Friendster sebenarnya ia sudah
mengenal wajah Lala atau penampilannya dari photo-photo yang di-post di web site tersebut, tapi, tetap saja in real, kenyataannya Dani belum pernah berjumpa Lala.
Di seberang sana, Lala menutup telpon dengan
seulas senyum di bibirnya. Hm, akhirnya
dia telpon. Nggak nyangka, orangnya asik juga, batinnya sambil senyum.
Lalu sebaris pendek pesan dia ketikkan dan
dialamatkan ke sebuah alamat email. Pesan pendek berisi kalimat;
”So, we finally 'met'
at last.
Thanks for calling me,
yach!”
Dan kalimat itu ditutup dengan sebuah smiling icon. Dan sekejap kemudian pesan itu
terkirim.
Lalu, hubungan pun
berlanjut. Saling
berbalas email, chatting di IRC/MIRC, atau saling menyapa lewat Skype pun menjadi cerita Dani dan Lala
sehari-hari. Hampir tiap hari. Dani seperti merasakan suatu keinginan hadir di
dalam dirinya. Perasaan ingin selalu bertemu dengan gadis bernama Lala ini. Dia
tidak bisa lagi menyangkal bahwa ada sesuatu yang istimewa yang dia rasakan
terhadap gadis ini. Hubungan emosi yang tercipta lewat dunia maya. It feels like he already knew her for a very
long time.. Yeap, Rasanya seperti dia telah mengenal Lala jauh sebelumnya.
Lucu? Memang. Tapi itulah yang dia rasakan. Fallen? Ah, mungkinkah mencintai seseorang yang bahkan
bertemu muka pun belum pernah?
I know that it might sound more than a
little crazy
But I believe
But I believe
I knew I
loved you before I met you
I think I dreamed you into life
I knew I loved you before I met you
I have been waiting all my life
I think I dreamed you into life
I knew I loved you before I met you
I have been waiting all my life
Barangkali ini yang sering dibilang orang mengenai fenomena hubungan sosial
di zaman cyber seperti sekarang. Hubungan antar individu, atau untuk mengenal seseorang bagi para
pengguna internet saat ini semakin mudah saja. Dimulai dengan satu pesan pendek, diikuti e-mail, lalu
e-mail yang semakin intens dan berlanjut dengan pertemuan. Namun kadang tanpa diawali
sebuah pertemuan pun, hubungan bisa
terjalin erat. Hubungan
secara emosi tanpa mengenal dan bertemu secara nyata satu sama lain sebelumnya,
kerap kali terjadi. Seperti
yang Dani dan Lala rasakan saat ini.
IRC/MIRC, ICQ dan media
komunikasi antar pengguna internet lainnya, memang tersedia di komputernya yang
selalu up-date mengikuti perkembangan IT. Beruntunglah dia bisa memiliki
fasilitas selengkap ini di kantornya. Dan
begitu semua aplikasi itu dia jalankan, seketika itu pula ia seperti memasuki
dunia yang lain. Sebuah dunia dimana peradaban lain tercipta. Dunia pesan dan
berita, dunia yang sesungguhnya maya, sesuatu yang tak nyata, namun etika telah
pula bermain di dalamnya.
Aneh sebenarnya, tapi itulah yang
dia rasakan tiap kali dia memasuki dunia yang satu ini. Dan ,
kini, kerinduannya ada di sana .
Ada satu alasan
yang makin kuat untuknya. Alasan yang makin menumbuhkan sesuatu dalam dirinya. Ada kerinduan untuk
memasuki dunia ini lagi dan lagi, hanya untuk 'saling menemui' atau 'nengokin'
blog mereka masing-masing. Ada Lala dan cintanya, menantinya di sana. Dan seperti ada yang kurang
jika sehari saja ia tidak menemui Lala, cintanya di ‘dunia’ itu.
Setiap hari, begitu ia menyentuh keyboard, jari-jarinya seperti bergetar.
Karena ada desakan kuat untuk menuliskan sesuatu, tentang Lala. Bergetar
menerima setiap impulse yang lahir dari benaknya yang dipenuhi kerinduan
tentang gadis itu. Bergetar seakan jari-jarinya mendesak mengajaknya berlari,
pergi 'menemui' Lala, di dunia sana.
Dani tidak pernah menyangka sapaan pendeknya
waktu chatting dengan Lala dua bulan
lalu itu membuahkan sesuatu. Dua bulan setelah ‘pertemuan’ yang tidak disengaja
itu, Dani makin menyadari bahwa ia menyayangi Lala. Lala yang begitu manis . Dalam setiap kesempatan yang ada, Dani bisa merasakan
betapa ia selalu merindukan gadis ini. Dalam setiap kesempatan yang ada, Lala
mampu membuatnya merasa jadi orang yang spesial. Dalam setiap kesempatan yang
ada, Lala selalu memintanya untuk singgah di hatinya.
Dan dalam setiap kesempatan yang
ada, mereka saling menumpahkan kerinduan yang lahir di antara mereka, dengan cara mereka seperti itu. Puisi tentang cinta, bisikan
mesra lewat gagang telpon, e-mail,
chatting dan SMS, menjadi
warna-warni dunia cinta mereka. Ketidak-sengajaan dua bulan lalu membuahkan
satu kejelasan, bahwa Lala juga memiliki perasaan yang sama dengan Dani.
Lala pun menyadari bahwa ia merasakan hal
yang sama. Email demi email yang dia terima dari Dani;
tentang
kejujuran perasaan Dani kepadanya,
tentang
kerinduannya,
tentang
keinginannya,
tentang
baris demi baris yang dia terima dalam bentuk puisi,
Kesemuanya membuat Lala makin merasakan
semacam ada daya tarik, seakan magnet, yang menarik hatinya untuk melihat blog Dani, lagi dan lagi. Dan semakin ia
baca apa yang dipost disana,
kegigihannya untuk bertahan dalam kesadaran bahwa cowok itu hanya sedang
berusaha untuk merayunya, menggombalinya -
seperti cowok-cowok lain yang selama ini ia kenal, semakin luluh. Dani
mampu membuatnya makin membuka hati, yang selama ini tertutup rapat-rapat dari
kehadiran seorang laki-laki.
Lala sadar betul, bahwa dia bukanlah type perempuan
muda yang begitu naif dan mau menerima begitu saja pujian dan sanjungan, serta
rayuan-rayuan yang memabukkan dari seorang cowok yang 'hanya' dikenalnya lewat
Internet. Lala juga tahu seperti apa orang-orang yang biasa dia hadapi dari
'dunia' ini, dunia yang menurut teman-temannya penuh dengan kebohongan.
Namun, bagaimana pun, Lalu hanya seorang
manusia biasa. Seorang gadis yang memiliki hati dan perasaan. Seorang yang
membutuhkan kehadiran seorang laki-laki, yang bisa mengisi kekosongannya selama
ini. Dan tulisan demi tulisan yang seperti lahir dari relung hati yang paling
dalam, yang dia baca di blog Dani
tentang dirinya, semakin membuatnya luluh dan mulai membuka pintu untuknya. Lala
tahu, bahwa cintanya tak bisa lagi ia bendung.
Cinta
untuk Dani! Semakin lama, ia merasakan makin sayang pada cowok itu.
Rasanya memang aneh, memiliki hubungan
seperti ini. Namun, kenyataan bahwa perasaan yang bermain dalam dirinya, memang
lebih kuat ketimbang logikanya sendiri. Dani telah mencuri kunci pintu hatinya,
membukanya, memasukinya dan mengisinya dengan sesuatu yang membuatnya makin merasa
berarti, dari hari ke hari. Hingga akhirnya ia meyakini bahwa apa yang dia
rasakan memang harus ia sampaikan ke Dani. Bahwa Lala, pun memiliki perasaan
yang sama seperti yang Dani rasakan kepadanya. Bahwa ia belum mengenal Dani
secara nyata, itu seperti terpinggirkan oleh kenyataan bahwa ia mengenal Dani
begitu lengkap, hanya dengan perasaannya. Hanya melalui hatinya.
***
Namun terlepas dari dunianya tersebut, mereka
dihadapkan pada satu kenyataan. Bahwa, bahkan mereka pun belum lagi saling
kenal. Kenal dalam arti kata sebenarnya melalui tatap muka. Hampir dua bulan
hubungan ini tercipta selama itu pula mereka selalu menolak setiap keinginan
yang begitu membuncah untuk bisa memeluk satu sama lain, dalam arti yang
sebenarnya. Kedekatan dan kemesraan yang selama ini telah tercipta, justru
menciptakan phobia akan adanya
keretakan dan perpecahan jika mereka paksakan untuk bertemu.
Keengganan yang berawal dari Dani, karena kenyataan
berbicara bahwa ia telah memiliki Nadia. Sedang keengganan lain berasal dari kenyataan
bahwa Lala sadar ia tak bisa memaksakan keinginan untuk bertemu, karena logika
kewanitaannya yang selalu memaksanya untuk... menunggu!
Keinginan hati memang tak pernah dapat dibendung. Begitu juga Dani dan Lala.
Keinginan untuk saling memiliki telah demikian kuat. Keinginan untuk bisa
saling menyentuh, untuk membawa hubungan maya ini ke alam nyata, semakin
mengalahkan segalanya. Dan, rendezvouz itu pun akhirnya tak terhindarkan.
Sesuatu yang belakangan Dani sadari adalah sebuah kesalahan.
Tatap mata mereka akhirnya saling bertemu,
secara langsung. Tatapan yang tak lagi diwakili oleh sinyal bandwith yang selama ini menjadi
perantara mereka berinteraksi. Senyum mereka akhirnya saling berbalas, senyum
yang tak hanya bisa dinikmati oleh mata, tapi juga bisa dirasakan oleh hati.
Tak ada kata yang terucap, selain getar hangat yang menguasai keduanya. Lewat
tatap mata mereka, keduanya saling bicara. Menyapa jauh kedalam hati mereka
masing-masing. Keduanya sibuk menyelami dan mencari image yang selama ini telah
terbangun lalu mencari kesamaan dengan sosok yang kini hadir dihadapan mereka
masing-masing. Dani merasakan sesuatu yang lebih kuat menguasainya. Bahwa dia
memang mencintai Lala.
Saat awal itu pun Lala terdiam kehilangan keceriaannya. Saat itu terasa begitu
mempesonanya. Ia sibuk menata hati dan perasaannya dan mencoba mengenali cowok
yang didepannya ini, inci demi inci. Apa yang dibangunnya selama ini tentang Dani
menjadi semakin kuat dengan kenyataan yang sebenarnya. Ketakutan akan berubahnya
perasaan yang ada diantara mereka setelah pertemuan ini, ternyata tak beralasan
sama sekali. Apa yang dia rasakan kini semakin kuat. Mata kecoklatan milik
cowok itu begitu kuat mempesonanya, seperti magnit yang mengalir menembusi
lensa berbingkai plastik berwarna hitam, yang menghiasi wajah Dani,
menjadikannya makin tampak dewasa.
Magnit itu menguasai setiap detak yang ada di
jantungnya. Suara lembut dan dalam Dani yang selama ini membuatnya terlena,
kini menyapa gendang telinganya langsung tanpa perantara kabel serat optik atau
lewat satelit.
”Hai, apa kabar?” sapa Dani lembut, dibarengi
senyum rikuh. Ya, betapa tidak rikuh. Selama ini mereka bahkan telah yakin
dengan perasaannya masing-masing bahwa mereka telah saling cinta. Ribuan kali
mereka saling mengungkapkan rasa rindu lewat gerakan jari-jemari mereka lewat tombol-tombol
di keyboard yang menjadi penghubung percakapan mereka. Namun, kini mereka
dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka baru kali ini berjumpa. Ada sesuatu yang
masih harus ditata ulang. Entah apa. Membuat pertemuan itu menjadi sedikit
wizzard, dan kaku.
”Baik.” pendek Lala. Juga kaku. Namun hatinya
tertawa, menertawakan kekonyolan yang terjadi diantara mereka.
”Maaf
aku terlambat, macet.”
Lala menjawabnya dengan senyum kecil, dan
mengajak Dani memasuki ruang kerjanya. Ruang kerja Lala begitu nyaman. Satu set
meja kerja Axis yang kontemporer dengan desaign futuristik didominasi warna
putih di seluruh ruang, kontras dengan alas karpet berwarna biru cerah,
menyambut mereka di ruang kerja Lala. Sebuah notebook slim dan elegant warna
biru muda, nangkring diatas meja. Di latar belakang, sebuah jendela lebar
seolah menjadi lukisan pemandangan kota Jakarta dengan jalan-jalan yang berliku
seperti ular, lengkap dengan warna-warni lampu mobil yang berbaris antri,
pemandangan kemacetan yang biasa terjadi. Hm, siapapun pasti betah bekerja di
ruang seperti ini.
"Mau minum apa, Dan?" Lala
membuyarkan perhatian Dani dari observasi dan kekagumannya, memecah kesunyian
yang sekejap tadi berlangsung.
"Apa
aja, deh!"
Sinar matahari sore membias lewat kaca
jendela berwarna gelap. Menjadikannya nuansa sore yang temaram dan sedikit
pudar karena pulasan lampu ruang. Namun tak urung nuansa cahaya itu sedikit
membias di wajah cantik Lala yang bersemu memerah. Bibirnya yang mungil dipoles
tipis lipstik warna cerah dan sapuan lip gloss, menjadikannya terlihat segar
dan serasi dengan kulitnya yang bersih.
Pertemuan yang mengasyikan memang seringkali
membuat waktu berlalu begitu cepat. Pertemuan pertama itu lalu berlanjut pada
pertemuan kedua, ketiga dan seterusnya. Dan setiap pertemuan seperti memberikan
siksaan ketika mereka harus berpisah, padahal mereka masih ingin bertemu lebih
lama. Itu sebabnya Lala merasa tak mampu menolak ketika Dani mengajaknya nonton
di lain waktu.
Keinginan yang begitu lama terpendam, dan
suasana temaram yang hanya diwarnai oleh biasan cahaya dari layar sinema,
membuat Dani dan Lala sejenak lupa bahwa mereka baru beberapa bulan berhubungan.
Namun, beberapa bulan itu seperti terasa sudah bertahun-tahun. Dan, begitu
besar keinginan untuk menyatukan hati yang selama ini terpisah oleh ruang dan
waktu. Maka, ketika mata Dani lekat menelusuri wajah Lala, Lala seperti tak
mampu menepisnya. Begitu pun ketika jari-jemarinya lenyap diremas lembut oleh Dani
yang berbisik perlahan.
Dan Dani seperti tersihir oleh pesona Lala.
Lupa dirinya, lupa waktu dan ruang, lupa untuk tak mendua… karena sesungguhnya
Dia telah memiliki Nadia.
”Aku mencintai kamu, Lala,” Dani berbisik di
telinganya. Membuat Lala diam seribu basa. Jiwanya seketika seperti lepas dari
raga. Dan dia merasa dirinya seperti selembar kerta yang dilepaskan dari
ketinggian… melayang lunglai jatuh ke lantai.
Sesungguhnya Lala sadar dan paham betapa
kurang ajarnya Dani! Betapa beraninya dia meremas jemarinya tanpa bertanya
apakah ia merasa keberatan atau tidak. Namun yang membuatnya lebih merasa tidak
menentu, betapa ternyata ia suka dengan perlakuan ini. Kurang ajar, batinnya malu pada dirinya sendiri. Namun hatinya
tersenyum lega. Hanya karena bibirnya yang kelu dan perasaan yang tak menentu
yang membuatnya hanya menjawab dengan membalas satu remasan lembut dengan wajah
tertunduk kelu. Wajahnya memerah jengah. Namun hatinya membuncah.
Maka, ketakutan pun terjawab sudah. Layar
lebar yang berpadu dengan tatanan suara digital yang menggema di ruang studio jaringan
bioskop 21 itu, pun menjadi tak berarti bagi Dani dan Lala. Mata mereka memang
terpaku lurus pada layar di depan, namun hanya tatapan kosong. Tanpa satu pun
adegan cerita yang dapat dicerna oleh benak mereka.
Ada gemuruh dalam diri Lala. Baru
kali ini dia merasakan kencan dengan Dani dalam suasana yang sesungguhnya. Sesekali Dani mencuri pandang ke sampingnya. Dalam
keremangan pantulan cahaya film yang membias di wajah Lala, betapa ia terlihat
semakin cantik mempesona. Tanpa sadar kerlingan Dani beralih menjadi tatapan
penuh. Dan Lala menunduk tersipu ketika menyadari Dani
tengah memperhatikannya. Begitu lekat.
Dua hati itu diam membisu.
Masing-masing terbawa perasaannya sendiri. Hanya degup jantung mereka yang
saling bersahutan. Seakan seribu satu tanya
jawab terlontar dan terjawabkan. Berbincang dalam kebisuan. Bersahutan mesra
dalam diam. Film terus berlanjut hingga slide terakhir habis terputar.
Dan sisa malam itu mereka nikmati
dengan pembicaraan kecil untuk terus saling menyesuaikan diri satu sama lain.
Betapapun mereka telah begitu akrab, agaknya masih perlu waktu bagi merek untuk
membiasakan diri pada pertemuan malam itu. Dan
malam itu, Lala menghabiskan sisa malamnya dengan pikiran yang jauh menerawang.
Senyumnya indah mengembang menghias wajah cantiknya ketika matanya yang
terpejam menghadirkan kembali ingatan pada pertemuan terakhir mereka, saat
pipinya tiba-tiba merasakan hangat ketika Dani mengecup pipinya perlahan. Lala
pun makin terlelap. Balutan purnama yang menerobos lewat tirai jendela, membuat
wajahnya makin bercahaya. Wajah seseorang yang hatinya dipenuhi oleh cinta.
* * *
Lalu, setelah beberapa bulan berjalan, Dani
menyodorinya dengan suatu kejujuran yang tiba-tiba membunuhnya. Pengakuan
tentang statusnya.
"Aku harap kamu nggak marah,"
sebaris kalimat dari Dani ia terima lewat offline
message di Yahoo Messenger-nya
sore itu. Kalimat yang beberapa hari ini selalu muncul lewat email-email, sms atau offline message
yang tak pernah bisa ia balas. Kalimat yang hanya bisa dia baca dengan perasaan
tak menentu. Ini kali yang kesekian ia mengabaikan pesan itu. Dan sesuatu
kesadaran yang belakangan mulai ia temukan kembali, membuatnya memutusan untuk
membalas pesan tersebut. Ditekannya tombol enter dengan seribu satu perasaan
berkecamuk di dadanya, membawa satu pesan pendek buat Dani.
"It's
okay, Dan. It doesn't matter anymore..." Andai saja ada kalimat lain
yang bisa ia rangkai untuk mengungkapkan kepedihannya saat ini, pikirnya gundah.
Empat bulan telah berlalu semenjak pertemuan
mereka terakhir ketika Dani harus terbata-bata membuka statusnya, menyampaikan
pengakuannya, bercerita tentang seseorang bernama Nadia… Hari dimana Lala
merasa terbunuh karena keteledorannya termakan rayuan dari laki-laki yang dia
kenal lewat Social Media.
Dan, sejak itu mereka jarang lagi saling
'menemui' seperti saat ini, lewat chatting. After office hour menjadi
saat yang paling Lala tunggu ketika Dani hadir di hadapannya, menjemputnya.
Hadir seutuhnya, lengkap dengan cerita-ceritanya. Beberapa bulan yang memberikan
dia hari-hari paling manis dalam hidup Lala. Bertemu, jalan dan makan bersama
di kafe, nonton, dan menelusuri jalan Jend. Sudirman yang padat selepas dari
kantornya yang berada di salah satu gedung di kawasan bisnis tersebut, menjadi
cerita utama hari-harinya. Sampai suatu ketika, satu kejadian yang tak pernah
ia bayangkan sebelumnya, terjadi.
Seseorang, seorang gadis muda seusia dirinya,
menatap mereka berdua yang baru saja keluar dari studio 21, dengan tatapan yang
penuh dengan seribu pertanyaan dan amarah yang terpendam. Seseorang yang susah
payah menahan bendungan air matanya agar tak tumpah menyaksikan mereka tengah
berjalan saling menggenggam tangan. Seseorang yang akhirnya hanya mampu berlari
sambil berusaha menyembunyikan isak tangisnya yang akhirnya pecah di tengah
kebisingan sahabat-sahabat wanitanya yang susah payah berusaha mengejarnya.
Seseorang yang tiba-tiba saja membuat Dani berubah dari seorang yang ceria dan
penuh kehangatan, menjadi seorang laki-laki pesakitan yang tak tahu mesti
berbuat apa-apa. Seseorang yang pada akhirnya ia dengar dari bibir Dani sendiri
bahwa dia adalah Nadia.
Dan Lala sadar bahwa Dani ternyata memiliki
satu kenyataan lain yang ia sembunyikan selama ini. Kenyataan yang membuatnya
marah pada awalnya, namun pada akhirnya harus ia terima dengan lapang dada.
Ketika mengetahui semua kejadian yang sesungguhnya. Tentang Nadia tunangannya.
Tentang dirinya yang tak mampu menahan diri untuk tak jatuh cinta pada Lala. Tentang
kebersamaan mereka selama lebih dari enam bulan ini yang terjadi begitu saja
tanpa Dani mampu menghindari.
Sore itu, di hadapan layar notebooknya, Dani menerima
pesan singkat Lala tanpa mampu bergeming. Setelah lama ia mencari kesempatan
untuk menjelaskan semuanya pada Lala, baru kali ini akhirnya ia menerima pesan
itu secara langsung. Lala memang sedang on
line. Namun kali ini suasananya terasa sangat jauh berbeda.
Sesungguhnya selama ini ia mengenal Lala,
hampir tak ada cela yang dapat ia temui pada gadis itu. Beberapa bulan itu
terasa begitu cepat. Waktu telah menghidupkan dan menumbuh-kembangkan tunas
rasa yang pernah ia tancapkan pada sosok Lala ini, secara tidak sengaja.
Keisengan yang membawanya pada satu keadaan yang sungguh dia sadari sepenuhnya,
bahwa perasaannya terhadap Lala semakin tak mampu ia kendalikan.
Tak ada kata yang tepat baginya untuk
memahami perasaan yang ia miliki terhadap Lala. Perasaan rindu ingin selalu
bertemu gadis itu. Perasaan yang menghadirkan getar-getar tiap kali ia menyebut
nama Lala dalam benaknya. Perasaan yang menguasai setiap denyut jantungnya tiap
kali ia mengingat senyum manis Lala. Perasaan yang membuatnya mati rasa tiap
kali gendang telinganya tersentuh getaran merdu tawa gadis itu. Perasaan yang
pada suatu ketika tiba-tiba membuncah dan berpuncak pada kesadaran yang juga
datang pada akhirnya, secara tiba-tiba. Perasaan yang membuka mata hatinya
sendiri dimana ia tiba-tiba sampai pada satu kesadaran dimana sesungguhnya ia
tengah berdiri pada sebuah jurang yang dalam.
Perasaan itu semula melambungkan dirinya,
namun kemudian membuatnya terlempar jatuh ke dalam jurang tak berdasar.
Benaknya terlempar dan terhempas pada satu padang datar, di suatu lembah
bernama kesadaran. Di dasar kesadarannya, tiba-tiba didapatinya sosok lain yang
selama ini hampir terlupakan. Monty! Tersudut diam dan menatapnya dengan
tatapan yang membuatnya terjerat rasa berdosa. Tatapan teduh bersahaja. Tatapan
seseorang yang dengan sorot matanya berkata, "Aku mencintaimu sedalam
dasar jiwa yang kupunya, Dan."
Ya, Nadia. Gadis yang mencintainya dengan
cinta yang tak dapat ia ukur kedalamannya. Gadis yang sesungguhnya pada dirinya
Dani tak pernah bisa menemukan satu cacat, atau sesuatu pun yang bisa ia
jadikan alasan untuk tidak mengakui bahwa ia masih mencintai gadis itu.
Dan ia memang harus memutuskan pilihannya,
sesulit apapun. Berulangkali Dani mencoba mengabaikan kenyataan tersebut,
selalu saja ia tak mampu menghindari kesadaran yang menempatkannya pada satu
persimpangan yang memaksanya untuk memilih dua jalan yang ada. Dimana di dua
simpangan itu menanti dua orang yang berbeda. Dua orang yang selama ini ia
cintai. Seandainya ia bisa menapaki kedua arah tersebut. Namun kesadarannya
membisikkan satu kenyataan pahit dimana ia hanya bisa menempuh satu arah saja. Arah
mana yang memaksanya mengatakan hal pahit ini kepada Lala. Kenyataan yang
membuatnya harus siap kehilangan Lala dan menjelaskan siapa Nadia secara jujur
dan terus terang.
Dan kalimat itu harus ia katakan dengan
sepenuh penyesalannya, ”Maafkan aku, La. Sebenarnya aku udah membohongi kamu
selama ini.” Pahit dan membuatnya merasa menjadi orang paling sadis dan biadab.
Membuatnya merasa menjadi seorang laki-laki paling jahat.
Sabtu sore itu rasanya menjadi hari yang
paling tidak mengenakan baginya. Menghadapi baris-baris pesan yang ia terima,
seakan menjadi vonis yang menyakitkan. Jari-jarinya terasa kaku, seakan
mewakili lidahnya yang kelu. Mewakili perasaan bersalah yang menghinggapi
ketika ia memutuskan untuk menempuh arah yang harus memutuskan Lala.
"Marah? Kenapa aku mesti marah?” message dari dari Lala berikutnya.
Pesan yang tak cukup untuk melegakan Dani dari jeratan rasa bersalahnya.
Juga tak cukup untuk memberitahu Dani bahwa mata indah dan bening di seberang
sana sesungguhnya sembab dan penuh dengan genangan air mata. Genangan air mata
yang menumpuk di kantung mata Lala dan akhirnya melimpah, tumpah, dan mengalir
membasahi kulit pipi Lala yang putih.
”Aku nggak tahu
apa aku punya hak untuk marah terhadap kamu, ‘Dan…” pesan singkat Lala
selanjutnya.
”Aku nggak ingin mencari pembenaran dari kesalahanku,
La.. Tapi, aku nggak pernah
berniat mempermainkan kamu, 'La. Sungguh!” Dani tercekat. Sesungguhnya ia
memang tak pernah menyadari akhir dari keisengannya semula akan berujung
seperti ini. Namun rasanya tak ada alasan yang bisa dia kemukakan yang bisa
menghindarinya dari perasaan bersalah. Karena memang tak ada pembenaran
untuknya.
”Santai aja, Dan,” balas Lala singkat. Santai? Sesantai itukah perasaan yang saat ini berkecamuk di dadanya?
Harapan yang sempat ia timbun hingga menggunung kini mendadak runtuh. Dan
gunung harapan itu meluruk menimbuninya dengan setumpuk penyesalan. Menyesal
mendapati kenyataan ini. Menyesal ia pernah mengenal Dani. Menyesal ia telah
membiarkan laki-laki itu mencuri dan membuka hatinya. Betapa ia menyesal telah
membiarkan perasaan itu tumbuh tak terjaga, ketika ia harus akhirnya mengalami
kekecewaan.
Dan kekecewaan ini membuatnya harus susah
payah menata hatinya kembali. Kekecewaan yang memaksanya bersusah payah
mengobati luka lama yang pernah ada. Dan ajakan santai barusan rasanya
terdengar begitu lucu, membuat Lala tersenyum pahit. Namun memang hanya
pesan itu yang mampu ia katakan.
Look at me
I'm as helpless as a kitten up a tree
And I feel like I'm clinging to a cloud
I can't understand
I get misty, just holding your hand
Walk my way
And a thousand violins begin to play
Or it might be the sound of your hello
That music I hear
I get misty the moment you're near
Alunan lagu yang pernah menjadi
lagu wajib Dani dan Lala, yang pernah ia dengar di saat pertama kali mereka
bicara di telpon, menjadi sesuatu yang makin menyakitkan di telinga Lala. Namun
entah kenapa, meski menyakitkan, ia jadi makin menyukai lagu tersebut. Entah kenapa? Maka ia membiarkan
ketika lagu tersebut terputar di playlist
winamp-nya.
Dan, monitor di kedua komputer Dani dan Lala
beberapa saat lamanya tak menampakkan pesan apa-apa. Dani membiarkan waktu
menghakiminya. Ia pun tenggelam ke dalam rasa penyesalan yang membuatnya
menjadi serba salah. Sementara Lala membiarkan dirinya tenggelam dalam
kelengangan. Ia mencoba menikmati apa yang ia rasa. Betapapun pahit, memang
hanya itu yang dapat ia lakukan.
”Aku harap kita masih bisa tetap berteman.
Kamu mau, kan?” pesan dari Dani meminta. Penuh harap. Dan sebuah smiling icon
ia terima sebagai balasan dari Lala. Betapapun itu merupakan sebuah tanda dari
Lala bahwa ia tersenyum, Dani dapat merasakan tak ada senyuman di bibir Lala.
Betapapun ia menginginkan terus menemani Lala sore ini, rasa pahit masih saja
menghantui perasaannya. Perasaannya yang mendua, seperti dua sisi mata uang.
Ada keinginan untuk melupakan gadis itu,
sebesar keinginannya untuk terus menyimpan Lala dalam benaknya. Ada
keinginan untuk mencintainya, sebesar keinginan untuk membunuh perasaan
tersebut.
Dan setelah chatting yang
berlangsung sore itu, sesuatu mengiris dan membelah perasaan Dani menjadi dua. Satu sisi dalam jiwanya
tertinggal di dunia itu dan mati. Ia tahu perasaan itu terlalu sentimentil.
Namun memang itu yang dia rasakan tiap kali melihat Lala on line tanpa
ia mampu menyapanya lagi dengan keriangan yang dulu. Dan Lala pun seperti
sengaja mengabaikannya dalam kesendirian yang Dani rasakan, tiap kali ia on
line. Menanti dalam kesendirian. Kesendirian yang tak pernah ada dalam pikiran
Lala bahwa Dani akan merasakannya tiap kali ia mengabaikan Dani.
Kesadaran Lala makin membawanya pada satu
kenyataan, bahwa barangkali yang mereka alami selama ini hanya sekedar
intermezzo. Sebuah bagian dari seluruh drama kehidupannya yang telah, tengah
dan bakal ia alami.
***
Kawasan Sudirman, Maret 2001
”Hey!?” Lala mengejutkannya. Memecah
kesunyian yang tadi cukup lama terjadi. Menarik Dani dari lamunannya tentang 4-5
tahun lalu. Hari-hari yang telah lalu bersama gadis ini. Hari-hari dimana betapa
inginnya dia mengulang itu semua.
”Kamu melamun terus, ih!? Cepat tua kamu
nanti, kek!?” ujar Lala berusaha melucu.
Dani tersenyum. Ditatapnya Lala. Wajah itu
masih belum berubah. Malah lebih cantik di usianya sekarang. Tiga tahun memang sebentar sekali.
Serasa baru kemarin!
Tak terasa, hampir dua jam mereka menikmati
waktu sore itu bersama. Hari semakin sore. ”Dan, mampir ke apartemenku, ya?”
sebuah undangan. Nadanya ringan, namun penuh pengharapan. Dani mengangguk
sementara matanya menatap ke depan, tanpa memperhatikan keramaian di depannya.
Tatapan kosong.
Dan perang batin di hatinya makin berkecamuk.
Keinginan untuk dekat dengan Lala dengan keinginan untuk menjauh dari orang
yang sama, muncul lagi tanpa mampu ia hindari. Sedetik keinginan pertama
menang, dan itu cukup untuk membuatnya menggangguk, memberi Lala debar-debar
riang. Menghasilkan senyum di bibirnya.
Namun, sebuah wajah lain muncul di benak Dani.
Ya, Nadia, gadisnya yang kini bukan lagi sekedar tunangannya. Seseorang yang
pernah ia sakiti begitu rupa hingga perlu waktu lama untuk meyakinkannya agar
kembali. Seseorang yang padanya ia telah membuat janji untuk tak lagi membuat
kesalahan kedua. Janji yang tiba-tiba membuat langkahnya terhenti ketika sebuah
jurang membentang. Ya! Jurang pemisah yang dulu pernah membatasinya dengan
Lala. Jurang yang di dalamnya teronggok tentang arti kesetiaan. Memberi satu
alasan kuat untuk Dani melaksanakan keinginan kedua, menjauhi Lala.
Dan itu melahirkan sebuah kalimat, ”Suatu
saat nanti, Lala,” ujarnya pendek penuh nada penyesalan.
Senyum ceria Lala menggantung kaku. Suatu
saat nanti. Sedang tiga tahun berlalu tanpa pernah mereka saling ber telepon,
berbalas e-mail, apalagi saling menemui. Meski sebagian memang karena dia
sendiri yang melarikan diri.
Kini setelah mereka bertemu, masih pula Dani mengatakan
suatu saat nanti. Ah, Lala tak kuasa memaksa Dani untuk mengingkari
perkataannya. Ya, aku lupa dia milik
Nadia. Betapa beruntungnya dia, Dan.
Lagi-lagi Dani tanpa sengaja membuatnya kecewa.
Kekecewaan yang memberikan Lala kesadaran yang sama. Kesadaran yang dulu. Dengan
kecewa yang dalam, Lala mengucapkan salam perpisahan. Tak ada senyuman. Lala
sadar Dani memang bukan untuknya. Tidak dulu, tidak juga sekarang. Dani yang
pernah dia miliki tempat ia bisa bebas bermanja, sebelum kesadaran itu lahir.
Ah, masa itu sudah terkubur. Rasanya tidak mungkin lagi bagi mereka untuk
menggali, betapapun hati mereka mengingini.
Matahari mulai terhalang di balik belukar
gedung-gedung perkantoran yang menjulang. Antrian kendaraan masih ramai. Sebuah
taksi berwarna biru mendekat. Lala memberi isyarat berhenti. Dengan kerlingan
duka gadis itu duduk kaku. Sempat ia melambaikan tangan kepada Dani sebelum
taksi itu bergerak. Dani membalas lemas sebelum taksi itu melesat pergi.
Aneh! Tiba-tiba saja Dani merasakan dunia terasa
asing dari sebelumnya. Ya, ternyata benih cinta yang tak pernah disiram itu
belum lagi mati. Dani merasakan itu. Dan perpisahan tadi terasa sungguh
menyakitkan. Namun, ia sadar bahwa kedewasaannya telah berbicara. Mengatakan
pada dirinya agar tidak perlu lagi menerima kehadiran Lala di hatinya, karena
itu memang tidak mungkin bagi mereka berdua. Ia tak mungkin bisa memberikan
Lala bahkan separuh dari sekeping hatinya. Hati itu harus dia berikan seutuhnya
pada Nadia, gadis yang telah mengikatnya kini. Sesuatu yang memang sudah
seharusnya Dani lakukan. Sesuatu yang bernama ‘kesetiaan’. Sesuatu yang
memaksanya melirik cincin di jari manisnya.
Dani melangkah perlahan berlawanan dengan
arah kepergian Lala. Seakan ingin meninggalkan hari-harinya yang pernah manis
bersama Lala. Intermezzonya yang tak terlupakan.
Langit semakin temaram. Awan bertebaran aneka
warna. Semakin ke barat tampak warnanya yang memerah tersentuh sisa-sisa
matahari yang tua. Di langit tenggara, beberapa awan tipis tersapu hembusan
angin, membentuk tirai-tirai kelabu. Menambah kelam suasana hati yang kelu.
Matahari makin tenggelam, meninggalkan bias jingga yang makin kelam. Dan kian
menghitam.
TAMAT
Jakarta,
Maret 2001
Sepenggal
cerita untuk mengenang seseorang di KafeGaul, MD