Rara
|
terperangah. Geram bukan main. Pipi dan cuping hidungnya
memerah menahan marah. Jari-jemarinya menggenggam erat secarik kertas berwarna
merah jambu.
”Huh,
sialan!” makinya. ”Si sinting itu lagi,” geramnya bukan main. Matanya membulat gemas
memelototi kalimat-kalimat yang tertera di kertas yang digenggamnya. Dibacanya
kalimat-kalimat itu untuk kesekian kali. Sebuah surat tanpa identitas pengirim,
tersusun rapi dari guntingan huruf-huruf dari majalah;
Rara...
Dalam kelam
kau datang, hadirkan riang
Dalam pekat
kau datang, berikan terang
Pada ini
sekerat hati, berlari
mencari damai pergi
xxx
NB:
Damai itu
ada pada mata dan bibirmu, Rara
Aku
cinta kamu
Jelas
sudah bahwa surat gelap itu ditujukan kepadanya, karena hanya dialah pemilik
nama itu. Rara menggerutu untuk kesekian kali. Rasanya kejengkelannya
sudah mencapai puncak. Bagaimana tidak? Sebulan belakangan ini ia dibuat
penasaran oleh si pengirim surat gelap itu. Dan ini kepenasaran dan kegeraman
total yang kelima kali dia rasakan.
Pertama
kalinya dia tertawa membaca surat gelap yang senantiasa berinisialkan tiga buah
huruf 'x' itu. Semula dia tak pernah memperhatikan dan mengacuhkan hal ini. Ia
pikir, hal ini pasti dilakukan oleh murid cowok iseng yang ingin menggodanya.
Soalnya memang sudah bukan rahasia lagi kalau anak-anak cowok di kelas ini
telah menobatkannya sebagai gadis idaman seantero kelas. Sejujurnya, sebagai
gadis normal, Rara bangga dengan predikat itu.
Tetapi, lalu
surat kaleng kedua dan ketiga datang lagi menyusul. Dan surat yang keempat
kalinya membuat sepasang alis matanya terangkat tinggi. Tapi kini, kelima
kalinya, alis mata bagus itu tidak lagi terangkat, melainkan menyudut dan
bertaut pada pangkal mata, tanda keheranan dan rasa penasaran yang mencapai
puncaknya. Hatinya kesal karena ia sama sekali tidak bisa menduga siapa
gerangan si orang iseng itu.
Rere
melayangkan pandangan ke seputar kelas yang kebetulan masih kosong. Untung hari
ini dia datang lebih pagi. Seluruh laci meja di kelas itu diperiksanya satu
persatu. Ia yakin si iseng itu pasti orang yang datang pagi-pagi sekali agar
dia mempunyai cukup waktu untuk menyusupkan surat tersebut di laci mejanya.
Mungkin cukup mudah baginya untuk menerka siapa gerangan si iseng tersebut asal
dia bisa menemukan tasnya.
Satu
deret meja selesai diperiksa. Sial, ternyata ada lima buah tas murid cowok yang
dia temukan. Dari kertas surat yang dia pegang saat ini, kelihatan bahwa kertas
surat itu bukan dari kertas buku biasa. Agaknya si pengirim khusus membelikan
kertas surat yang cukup bagus dan mahal dilihat dari mutu kertasnya ditambah aroma harum yang tercium.
Sasaran
utamanya adalah tas si Jo yang anak juragan minyak itu. Kemudian back-pack 'Eiger'-nya
Eric yang kerap membawa Honda Ciello-nya ke sekolah. Masih ada lagi tas Uci, Echa, Rina, Anton, Raihan dan terakhir tas Danny.
Memasuki
baris meja kedua, Rara tersentak. Seseorang memasuki ruangan tersebut.
Terburu-buru ia berlari menuju mejanya. Bukannya apa-apa, dia tentu saja tidak mau seseorang memergokinya sedang membuka-buka tas orang lain, bisa-bisa dia disangka Klepto!
"Dukk!!!" arrggghhh, Rara teriak sekencang-kencangnya... di dalam hati. Namun tak urung dia meringis sejadi-jadinya karena lututnya
terantuk kaki meja. Sialaaan! makinya
menahan sakit. 'Pengacau Sialan!' gerutunya.
Si pengacau
itu berjalan tenang menuju bangkunya. Melirik tajam sekilas ke arah Rara yang
tengah gelagapan salah tingkah. Dan bertambah salah tingkah lagi ketika mata
mereka beradu pandang.
”Eh...
hai, ‘Dit!” Rere menyapa Aditya, cowok yang barusan masuk itu, sekedar menyembunyikan
kegugupannya sambil menahan sakit. Jangan-jangan
dia melihatku sedang memeriksa tas anak-anak barusan, batinnya risau.
”Eh, hai..”
balas Aditya datar sambil berlalu menuju bangkunya dan menaruh tas, lalu mengeluarkan buku tulisnya dan langsung asyik menulis. Membiarkan Rara di bangkunya yang mendadak tidak tahu mesti bicara apa.
Kontan Rara tertegun. Astaga,’ni orang!? Orang apa robot? Sombong banget ‘ni cowok, batin Rara tak
percaya. Sebegitu cuekkah dia
sampai-sampai menjawab salamku pun enggan? Senyum kikuk yang tadi membias
di bibirnya mendadak lenyap. Kekhawatirannya menguap. Dan pikirannya tentang
surat gelap tadi melayang entah kemana mendapati jawaban Aditya yang seadanya tadi.
”Yuk, Dit. Gue keluar dulu, ya.” sapa Rara sekali lagi. Dan sekali lagi ia
mesti terkesima mendapati sahutan pendek cowok itu yang cuma ber-'he-eh' menanggapi senyum termanis yang sengaja dia siapkan. Sialan, makinya lagi. Entah kali yang
keberapa dia ucapkan kata makian itu sepagi ini. Ada sejumput perasaan keki dan
tersinggung pada cowok itu. Bagaimana tidak? Biasanya anak cowok lain selalu
berebut perhatian di hadapannya. Tapi, cowok satu ini, iih, dingin banget. Cuek
banget... kayak gunung es aja,
batin Rara agak keki karena merasa tak ditanggapi. Teringsut-ingsut ia
meninggalkan kelas menuju kantin sambil mengusap lututnya yang lebam membiru.
* * *
Siang pulang sekolah...
Siang
hari itu alangkah panasnya. Agaknya prediksi BMKG tentang bakal
turunnya hujan hari ini kurang tepat. Entah, barangkali baru sore nanti hujan
akan turun. Yang jelas matahari siang di bulan Maret ini begitu menggigit. Belum lagi jalan
beraspal yang memantulkan hawa panas dari perut bumi ke permukaan. Ditambah
langkanya pepohonan di pinggir jalan, maka lengkaplah penderitaan bagi
anak-anak SMA 74 yang harus berjalan kaki ke halte bis. Kendati begitu, pun ceracau-ceracau riang tak urung lepas dari mulut satu-dua diantara mereka,
seakan panas tak terasa.
Hari
ini memang agak lain Rara rasakan. Dari sejak pagi tadi, rasanya semua berjalan
datar begitu saja tanpa sempat dia merasakan apa-apa. Kalau tidak salah,
mungkin ini kali pertama Rara menjadi orang yang paling pendiam di kelas tadi.
Kontras dengan kebiasaannya selama ini, sebagai seorang gadis cantik, centil
dan periang. Sikap aneh Rara kali ini membuat Novi, teman sebangkunya, merasa
agak heran.
”Hari
ini lo aneh banget, sih, ’Ra,” Novi mengungkap keheranannya selepas dari gerbang
sekolah. Jarak dari sekolah ke halte bis cukup jauh, hampir satu kilo meter. Jadi
akan terasa jauh tanpa ada obrolan. ”Ada apa, sih?” desaknya lagi.
”Nggak ada apa-apa,” ujar Rara sekenanya.
Dia sendiri tidak mengerti kenapa sikapnya hari ini agak lain. Mungkin karena
surat itu, atau bisa jadi karena sikap Aditya terhadapnya yang membuatnya, entah kenapa, sempat
keki pagi tadi. Entah mana yang benar. Yang jelas, ada perasaan aneh tiap kali
mengingat pagi tadi dia tak diperhatikan oleh cowok lawan bicaranya. Hal yang
belum pernah dia rasakan sebelumnya.
”Sepagian
tadi, gue lihat elo bete terus, ’Ra. Elo kan ga pernah kaya gini. Perang sama cowok elo?” selidik
Novi.
Rara sesaat
tersenyum, sekian detik. ”Cowok gigi lo! Emangnya kapan gue punya
cowo?” elaknya.
”Lowh, elo sering bareng sama Eric, ‘kan?”
”Memangnya
kalau suka nebeng dia, lantas itu
berarti dia pacar gue, gitu? Hue... ga lah, yaa!” Rara mencibir.
”Naah tuh, lo sudah mulai ketawa lagi. Gitu dong, Ra..”
Novi balas tertawa.
Diantara
teman-teman sekelasnya, memang hanya Novi teman terdekat Rara. Disamping teman sebangku, dia juga paling asyik diajak curhat. Hanya
kepadanya Rara bisa menceritakan segala rahasianya. Sebaliknya Novi, dia juga tak
pernah segan-segan curhat kepadanya.
Kali ini, Rara merasa tidak tahan lagi untuk merahasiakan soal surat gelap itu
pada Novi. Lalu diceritakannya semua perihal surat gelap tersebut. Tentang
isinya yang selalu bersifat kekaguman dan pujian terhadapnya. Tentang
kecurigaan-kecurigaannya kepada orang-orang yang mungkin mengiriminya surat
kaleng itu.
”Yeee, gitu aja kok bingung. Bangga dong, Ra.. dipuji-puji dan dikagumi seperti itu oleh seseorang.”
”Ya iya lah,
kalau dia terus terang. Kalau caranya begini, 'kan malah bikin gue jadi penasaran, Vi,” keluh Rara
”Deeeuh...
Rhoma Irama, kali.. penasaran!” Tawa Novi, membuat Rara tambah cemberut. ”Oke.. oke.. Coba,
deh, elo sabarin aja dulu. Tunggu selanjutnya. Nanti juga, elo pasti bakal tahu siapa pengirimnya.
Eh, awas, lowh! Jangan-jangan si
pengirim surat itu... si Pak De! Hi...hihi.” canda Novi geli menyebut kata 'si
Pak De', pada guru Sastra mereka yang senantiasa bertingkah genit kepada mereka
berdua, yang kebetulan duduk di barisan terdepan di kelas. Rara membalas gurauan
itu dengan cubitan kecil, memaksa Novi meringis menelan tawanya. Auuuccchhh!
”Elo tahu, donk. Gara-gara mikirin surat itu, pikiran gue
jadi nggak menentu belakangan ini.” Rara mengakhiri ceritanya. Lalu diam kehabisan kata-kata. Novi ikutan termangu. Keduanya tiba di halte, kelelahan. Panas dan lelah membuat mereka lebih suka
menekuri tanah hingga bis masing-masing yang ditunggu tiba. Keduanya berpisah.
* * *
Relung-relung hati Rara
Kalau Rara bilang pada Novi siang tadi bahwa pikirannya jadi tidak menentu belakangan
ini, maka itu benar adanya. Tapi kalau seharian tadi, saat pulang sekolah dan
di sekolah, ia selalu murung, maka itu semata-mata bukan karena surat gelap
yang ia dapatkan pagi tadi. Bukan. Dan bukan pula Rara murung. Tepatnya, ia
tengah dihantui oleh rasa penasarannya akan Aditya, si cowok gunung es itu.
Bukan
karena takut dicurigai Adit ia ingat cowok itu saat ini. Tapi tatapan matanya
yang begitu dingin, sikapnya yang begitu tak acuh, dan gayanya yang masa bodoh,
yang ada dibenaknya saat ini. Semuanya datang tiba-tiba, dan membuatnya
tiba-tiba pula dihinggapi perasaan resah. Ajakan mama ke Gelael sampai-sampai ia
tolak, penolakan yang membuat mama heran. Tumbenan, ni anak, pikir mama. Novel The Alchemist-nya Paulo Coelho --edisi bahasa Indonesia-- yang baru dibeli dari Gramedia Blok M kemarin sore, pun belum sempat
disentuhnya. Padahal Rara paling tidak bisa diam tanpa buku di hadapannya. Keinginannya
saat itu hanya satu, tidur!
Namun
sudah setengah jam berlalu ia berbaring, matanya masih terbentang lebar.
Pandangannya terpaku pada satu titik di langit-langit kamar. Di sudut sana,
seraut wajah membias. Perlahan samar, namun makin lama semakin jelas. Wajah tanpa emosinya si Ditya. Menatapnya dingin dan datar.
Baru
kali ini Rara memperhatikan cowok itu. Baru kali ini ia kehilangan
kebanggaannya di hadapan cowok. Biasanya ia merasakan kebanggaan tiap kali
menghadapi cowok-cowok sekelasnya. Betapa dia ingat mereka semua seolah
bersaing untuk sekedar mendapatkan sedikit saja perhatiannya. Erick yang
mati-matian minta Rara mau jalan dengannya. Baim cowok keren dan pintar yang sering bela-belain
ngerjain PR buatnya. Iqbal si bongsor tukang makan yang sering ngajak ke kantin tiap kali tanggal muda.
Tapi lain
sekali dengan Adit. Tiba-tiba ia sadar, hampir satu setengah tahun mereka sekelas, rasanya belum pernah ia ngobrol atau sekedar ber-say hi or say hello sama cowok satu itu. Bahkan, heyy!!! rasanya belum
pernah Adit mengajaknya ngobrol... sekalipun! Satu-kali-pun!!!. Apalagi memberi perhatian atau mencari-cari
perhatian padanya. Ih, rasanya baru kali ini Rara berharap perhatian dari
orang lain.
Sepanjang
waktu berjalan, pikirannya terpaku pada cowok itu. Ia merasa jengah ketika
disadari bahwa sejak tadi matanya terpaku pada sudut langit-langit kamarnya,
ditempat mana bayangan wajah cowok itu tergambar samar. Lalu semuanya berjalan
tanpa Rara sempat menghentikannya. Ingatannya memutar kembali semua slide
memori tentang cowok itu. Dia ingat kini, sikap keseharian Adit di kelas sangat
pendiam. Begitu amat-sangat-pendiam banget-banget. Jangankan tertawa ngakak, tersenyum pun hanya
sesekali dilihatnya. Rara ingat kini, Adit-lah satu-satunya cowok yang tak pernah menertawakan Pak
Isman, guru pikun yang seringkali jadi bahan tertawaan teman-temannya sekelas saat mengajar, sementara Adit masih suka-sukanya bertanya serius ke Pak Isman.
Ia ingat
beberapa waktu yang lalu, saat diskusi kelas tentang masalah Sejarah dan
Perjuangan, Adit beradu argumentasi dengan Nadya, si juara kelas itu. Waktu
itu, jawabannya yang cemerlang sebenarnya, kalo boleh jujur, telah membuat Nadya terpojok
dengan sanggahannya. Namun Adit malah mengalah agar gadis tersebut tidak
kehilangan muka dihadapan wali kelas dan teman-temannya.
Yang
paling berkesan pada Aditya dan baru kini disadarinya adalah, cowok itu selalu menunduk
saat bercakap-cakap dengan siswi cewek yang centil yang kerap menggodanya
sebagai si Seniman Kere, tanpa pernah sekalipun terlihat tersinggung atau malu.
Julukan Seniman Kere yang melekat padanya karena dia memang paling jago
menggoreskan pinsil atau conte membuat lukisan sketsa wajah anak-anak, yang
bisa dia selesaikan dengan cepat. Vera dan Ully salah dua yang pernah meminta dilukis. Dan hasilnya tak kalah dengan seniman
betulan. Dan biasanya anak-anak suka memberinya imbalan ala kadarnya yang tanpa
ragu dan malu diterima Adit dengan wajah sumringah. Bahkan Vera paling parah, dia cuma memberi Adit imbalan berupa... 2 buah 'Beng-Beng'. Yang diterima Adit dengan senang hati. Sepertinya tak ada beban
baginya menerima julukan ‘Seniman Kere’ itu.
Semuanya
tiba-tiba saja muncul dalam benak Rara. Begitu jelasnya Rara mengingat semua
itu. Ia begitu hapal luar kepala, seakan baru disadari ternyata ia begitu mengenal
Adit, cowok yang selama ini tak pernah terpikirkan olehnya.
Rara masih terpekur dikamarnya. Matanya masih terpejam, terbawa arus perasaannya
yang melayang layang tak menentu. Benaknya menerawang. Melanglang dalam suasana
detak-detak kesejukan. Ya, perasaan ini baru kali ini hadir dalam hatinya,
setelah lama sepi. Hatinya kini begitu renyah, diramaikan oleh debar-debar tak
menentu namun merdu.
Sore
makin tergelincir. Membawa Rara semakin hanyut dalam gemelut relung hatinya.
Dan rangkaian lamunannya tiba pada soal surat gelap itu. Mengingat itu semua,
benaknya semakin terbebani oleh rasa penasaran akan si pengirim surat tersebut.
Ada sedikit perasaan kesal terhadap si pembuat ulah tersebut.
Sekejap
Rara tersenyum penuh arti. Ia menemukan cara untuk mengetahui siapa si pengirim
surat itu gerangan. Lihat saja nanti, kalau si iseng itu mengirimkan suratnya lagi,
pasti aku bisa tahu, senyumnya penuh kemenangan.
Lelah karena kantuknya tak juga datang. Sejak tadi
hatinya meletup-letup ria bergejolak dengan ramainya, terbawa lamunannya
tentang cowok itu. Sepanjang siang ini benaknya hanya bermain-main dengan bayangan
cowok itu.
Dan
sekarang ia merasa jengah ketika menyadari ada sesuatu yang tengah ia pendam
terhadap Adit, cowok itu. Malu pada dirinya sendiri. Dengan sekuat hati, dicobanya
melupakan semua yang baru saja dipikirkannya. Dan ia hampir berhasil melupakan
semuanya. Hampir, karena masih ada sejumput bayang wajah Adit bermain di
benaknya meski samar. Namun kali ini sepertinya Rara tak berusaha menepis itu
semua.
* * *
Relung-relung hati Aditya...
Untuk
kesekiannya kalinya Adit mengutuki dirinya sendiri. Menyesali dirinya. Menyesal
akan kepengecutannya untuk mencoba menyapa gadis itu, pagi tadi. Sungguh,
sebenarnya ingin dia berkata lebih banyak. Setelah semalaman ia berdoa agar
mendapatkan kesempatan bertemu dengan gadis itu, kesempatan yang sudah di
depan mata malah ia lewatkan begitu saja. Karena seribu kata-katanya tercekat
di kerongkongan.
Selalu
begitu. Tiap kali menghadapi gadis itu, lidahnya terasa kelu. Ia sadar semuanya
itu terjadi karena keadaannya yang serba kurang. Rendah diri. Perasaan itulah
yang selama ini senantiasa membelenggunya. Hingga selama ini ia hanya bisa
menikmati kerinduannya dalam diam. Itulah yang membuatnya begitu pendiam, sejak
kali pertama ia memasuki sekolah favorit ini.
Kadang
ia menyesal telah mengenal gadis itu, bahkan jatuh cinta sejak mula pertama
mengenalnya pada masa orientasi siswa baru. Dan perasaan satu itu tak mampu
dimusnahkannya meski ia berusaha untuk menguburkannya selama hampir satu setengah
tahun hingga kini. Dan keberanian yang dinanti yang tak kunjung datang akhirnya
memaksanya untuk melakukan hal konyol ini. Entahlah, begitu sulitnya menahan
keinginan untuk berbuat ini tiap kali kerinduan akan gadis itu datang
menerpanya.
Dan
sekarang rindu itu datang lagi. Lalu, dibacanya lagi secarik kertas berisikan
sebait puisi yang baru saja ditulisnya. Dibacanya berulang-ulang hingga ia
kesal akan dirinya sendiri.
Tiba-tiba
kini, ia menyadari akan kepengecutannya. Betapapun ia begitu mencintai gadis
itu, rasanya terlalu picik kalau ia harus melakukan hal itu kembali, mengirimkan
sepucuk surat gelap kepada gadis itu, Rara.
Putus
asa, Adit membatalkan niatnya. Angannya kembali bermain-main melayang.
Melambung diantara mega-mega khayalan. Menapaki lintasan waktu untuk membebat
rindunya. Rindu kepada segala yang ada pada Rara. Pada matanya, hidungnya,
bibirnya, tingkahnya, bahkan detak irama sepatunya yang sudah ia hapal luar
kepala. Rara yang begitu lincah dan centil terlihat lembut di matanya. Lincah
namun tak berlebihan.
Seandainya
ia seorang pelukis sejati, pastilah sosok itu telah menjelma diatas media
kanvasnya, dan bukan sekedar ada dalam angannya seperti saat ini. Entah kenapa,
meski begitu banyak ia membuat sketsa wajah anak-anak di kelas, tapi tak
sekalipun ia mampu melukis wajah yang satu itu. Tiap kali hendak dilukisnya,
bayangan wajah itu hilang dari benaknya. Dan ia pun hanya dapat merindukan
gadis itu dalam desahnya, tanpa dapat melukiskannya.
* * *
1996 - di suatu sore
Sabtu
sore, cerah. Ditengah lalu lalang akhir pekan yang padat. Raka berjalan lesu,
dengan kedua tangan di saku celana, menyeruak di antara kepadatan lalu lintas
dan pejalan kaki di trotoar. Begitu tak pedulinya ia, sampai-sampai klakson
sebuah sedan --disusul suara roda mendecit panjang yang dihentikan secara mendadak ketika ia
menyeberang jalan secara sembrono-- pun tak mampu membuatnya terlonjak.
Mood
Adit memang lagi enak. Sore ini ia beruntung mendapatkan order lukisan sketsa
wajah dari beberapa pengunjung yang tertarik minta dilukisnya. Hasil dari
beberapa lukisan itu rupanya cukup untuknya membeli buku materi sekolah yang
baru.
Minggu
lalu ia dipermalukan oleh Pak Darto, diusir keluar kelas hanya karena tak
memiliki buku materi pelajaran Geografi yang memang tebal dan mahal itu. Dan pak
Darto yang saklek itu memang tak bisa ditawar-tawar lagi. Pokoknya satu anak
satu buku. Tak boleh ada yang pinjam-pinjam atau baca bareng.
Tak
ingin julukan 'seniman kere' terus melekat padanya karena ia jarang memenuhi
kebutuhan buku materi pelajaran, dipaksanya membeli buku itu sore ini. Kali
ini ia memang beruntung karena akhirnya memiliki cukup uang untuk membeli
kebutuhannya, meski itu selalu terjadi last
minute.
Langkahnya
bergegas memasuki Toko Buku Gunung Agung di bilangan Blok M. Keluar dari pintu lift di lantai 5, mendekati pintu masuk,
langkahnya tertahan. Matanya tertumbuk pada seorang gadis yang membuat hatinya
kontan tercekat, Rara. Dan yang membuatnya lebih susah bernapas, gadis itu
menggandeng mesra seorang cowok seusianya.
Sudah
terlalu dekat, tak mungkin lagi baginya untuk menghindar, apalagi Rara terlanjur melihatnya dan berseru menyapanya.
”Hai, ’Diit!”
serunya riang.
Susah
payah Aditya menelan ludahnya untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak
kering. ”Eh, hai juga,” gagapnya.
”Iih,
tumben banget ketemu elo disini. Sama siapa, ’Dit?” tanyanya ringan.
”Sendiri,”
Adit berujar pendek. Terburu-buru. ”Eh, sorry,
ya, Ra.. Gue buru-buru, nih! Duluan, yuk!” ujarnya beruntun.
Lebih baik begitu, pikirnya galau. Tak perlu lama-lama ketemu Rara. Salah-salah
gue bisa salah tingkah melihat
kemesraan mereka berdua, batinnya gundah.
Dan,
tanpa menoleh lagi, Adit urung masuk ke Gunung Agung. Hatinya begitu luka. Sia-sia saja
lelahnya selama ini. Setelah lama mencari dan mencari kesempatan, setelah
terbuang uangnya untuk membeli kertas surat indah itu, setelah terbuang
waktunya untuk merangkai angan-angan menulis puisi buat Rara. Hilang lenyap
semua. Hilang begitu saja karena pertemuan yang menyakitkan ini. Langkahnya
lebar-lebar meninggalkan Rara yang terpaku bersama cowok di sebelahnya, yang
juga kebingungan melihat sikap Aditya barusan tadi.
”Siapa sih,
Ra?” tanya cowok disebelah Rere itu keheranan.
Rara masih terkesima melihat sikap Adit tadi yang tetap dingin di hadapannya. Terpana
oleh sorot mata cowok itu yang menghunjam tajam dan lurus ke ulu hatinya,
dengan sinar keangkuhan. Dijawabnya pertanyaan Bimo, anak tantenya itu, dengan
gelengan tak mengerti. Lalu digandengnya Bimo meninggalkan tempat itu. Ada sesuatu
yang aneh yang tiba-tiba Rara rasakan. Hatinya tergores pedih akan sikap Adit tadi, Namun jauh didasarnya, ada sejumput kerinduan bertumpuk dan mengendap.
Dari
kaca etalase yang tersembunyi, Aditya mengekor kepergian Rara bersama cowok
itu. Dia sadar, cowok di samping Rara itu memang melebihi dia dalam segala hal.
Tanpa ada satu pun yang disisakan buat Adit untuk dapat bersaing. Ditatapnya
kedua insan itu dengan helaan nafas panjang. Ditelannya segala angan tentang Rara dengan
susah payah. Dibiarkannya kakinya melangkah tanpa arah. Ada sesuatu menyesakkan
dadanya. Ia terbanting dan terhempas setelah melambung tinggi di atas mega-mega
khayal yang selama ini dibangunnya dengan penuh harap. Dan itu sakit sekali.
Malam
itu, ditengah luka hati dan rindunya, kembali tangannya bergerak lincah
menggoreskan kata demi kata pada sebuah lembaran berwarna biru.
“Yang
terakhir, Ra.
Maafkan kekonyolan gue
selama ini.
Barangkali gue memang
pemimpi,”
Gumamnya membaca goresan kalimat yang baru diselesaikannya tadi.
* * *
Di sekolah, Senin pagi itu...
”Hai..,”
sapaan halus itu terlontar dari sebentuk bibir mungil. Memaksa yang disapa melonjak
kaget.
”Eh-oh,
...elo? Kok, elo keluar?”
”Iya.
Pak Darto juga ngusir gue keluar.
Habis, gue nggak tega liat elo diusir sendirian gitu. Gue bilang aja gue ga bawa buku. Sadis banget
sih, tu babe,” senyum Rara lembut, sembari menunjuk ke arah kelas ketika
menyebut kata ‘babe’ tadi.
Semalaman ia berusaha mencari cara agar bisa memiliki
kesempatan mendekati Aditya. Nalurinya ternyata benar. Setelah menunggu beberapa
hari lamanya, ternyata apa yang dinanti-nantikan datang juga. Surat yang keenam
ia dapatkan dari laci mejanya, kemarin. Dan Pak Atmo penjaga sekolah yang rajin
itu, ternyata sukses menjalankan tugas yang dimintanya untuk mengintai si
pengirim surat. Si iseng, pengacau sialan itu ternyata Aditya. Ya, ampun. Entah dia harus kesal atau bersorak gembira.
Rasa
penasarannya berganti dengan kegalauan membaca isi puisi terakhir di surat
tersebut. Satu hal Rara bahagia karena yang dia rasakan terhadap cowok itu
ternyata tak bertepuk sebelah tangan. Adit ternyata tidak cukup pandai untuk
menyembunyikan perasaan dan identitas dirinya. Namun salam terakhir pada surat
gelap itu mau tak mau membuat Rara resah menyadari tak akan ada lagi surat
berikut.
Beruntung
ia memiliki seorang kakak yang berpikiran dewasa dan moderat seperti mbak
Ajeng. Semalam tanpa sengaja mbak Ajeng memergokinya ketika ia tengah melamun
sambil tangannya tanpa sadar mencoret-coret sebuah nama. Membuat mbak Ajeng mau tak mau tertawa geli. Lalu tanpa ragu lagi Rara menceritakan semuanya kepada mbak
Ajeng. Soal surat gelap yang akhirnya dia tahu dari Aditya. Soal perasaannya
terhadap cowok itu. Soal sikap Adit yang sebenarnya terhadapnya. Akhirnya
mereka berdua pun terlibat dalam suatu diskusi mengenai apa yang dinamakan
harga diri.
Kini Rara tengah memberanikan diri mencoba memulai apa yang disarankan oleh mbak Ajeng semalam. ”Siapa tahu berhasil, hi...hi…hi,” terngiang kembali canda kakaknya
semalam terakhir kali sebelum meninggalkan kamar Rara sambil tertawa. Ga usah gengsi-gengsi, deh. Cewek nembak duluan sekarang udah umum, kok!? Senyum mbak Ajeng menyarankan, semalam.
Pandangan
Rara beralih ke lapangan olah raga. Menikmati permainan basket dari anak kelas
lain yang kebetulan sedang berlatih. Sementara Adit duduk bimbang di sebelahnya.
Perlahan
Rara menyodorkan secarik kertas warna biru yang dia dapatkan dua hari lalu dan
meletakkannya di samping Aditya, membuat cowok itu seketika beku dalam duduknya. Pucat
tak bergeming. Rara menyunggingkan sebentuk senyum lembut. Aduuh, jangan-jangan keburu pingsan ni cowok, pikirnya geli.
”Kayanya kita nggak perlu basa basi lagi, deh, Dit.. Gue dapetin ini dari laci meja gue kemarin. Dan gue tahu siapa yang meletakkan ini dari pak Atmo. Ga perlu gue sebutin lagi. Iya, ’kan? Dan gue rasa,
elo nggak perlu menyangkalnya lagi, iya ’kan?” senyumnya lagi tulus.
Adit menunduk lesu. Habis sudah. Ia menyesali dirinya sendiri. Menyesali
kebodohannya telah menuliskan surat itu dengan tulisan tangannya sendiri, lupa
dengan kebiasaannya selama ini. Menyesali keteledorannya tak memperhatikan pak
Atmo yang sering datang pagi-pagi menyapu lorong-lorong kelas II di sebelah ruangan kelas mereka.
”Ehmm, gue.. gue minta maaf, Ra,” tersendat ia
mengakui. Semakin tertunduk. Rasanya seluruh tubuhnya seperti kehilangan
tulang, lunglai tertekan oleh rasa bersalah dan malu yang bukan main. Dibenaknya
tersusun kata-kata, namun tak banyak yang mampu dia utarakan.
Rara tersenyum. Pandangannya masih ke lapangan basket tanpa memperhatikan apa yang
terjadi disana. Inilah saatnya untuk mengakhiri semua. Sekarang atau tidak sama
sekali. Sesuai pesan mbak Ajeng, nggak
masalah baginya untuk mengatakan apa yang dia pendam sejauh apa yang dia
rasakan ternyata sama dengan yang Adit rasakan terhadapnya.
"Nggak perlu minta maaf, ’Dit. Gue nggak
marah, kok.” ucapnya perlahan, namun cukup untuk membuat Aditya tersentak.
Sama sekali dia tidak menyangka.
”Elo...
eeh, elo nggak marah?” Raka mengulangi seakan tak percaya.
Rara mengangguk pasti, tersenyum manis.
”Eeh, gue... gue nggak tahu mesti
ngomong apa.”
”Nggak perlu ngomong apa-apa. Gue nggak
marah karena gue tahu pasti elo cuma becandain gue, 'kan?” sergah Rere cepat. Dia ingin menguji sampai sejauh mana
kejujuran cowok itu terhadapnya dan terhadap dirinya sendiri. ”Gue tahu itu karena buat gue, elo sama aja dengan cowok-cowok
yang lain,” lanjutnya.
”Elo salah! Gue nggak pernah
bermaksud iseng becandain elo, kok!” tukas
Ditya cepat, sedikit tersinggung dia.
”Jadi?”
Rara tertawa dalam hati. Pancingannya mengena. Matanya bulat menatap cowok di hadapannya itu, membuat Ditya jengah dan menunduk. Dalam hati Rara tersenyum, tapi gemas. Arrggh, ni cowok, pemalu banget, sih!?
Ditya mengutuki dirinya sendiri. Ups, Sialan! Kejebak gue. Tapi... aaarrgh, masa bodo deh. Toh gadis itu sudah tahu semuanya. Untuk apa lagi ditutup-tutupi.
Bisiknya pada diri sendiri. Setengah mati Aditya mengumpulkan semua keberanian
yang dia miliki, dan sesaat ia berusaha membalas tatapan Rara yang menusuk
barusan.
”Sungguh.
Gue nggak becanda, Ra,” tukasnya
setengah teriak. Dadanya bergejolak, dihelanya nafas berkali-kali. Sebenarnya ia
malu berkata yang sebenarnya ke Rara. Tapi apa boleh buat? Sudah kepalang basah
pula. Dari pada gue dihinggapi perasaan
tertekan nyimpen uneg-uneg gue sendiri. Lebih baik gue jujur aja sekalian. ”Sekali lagi gue minta maaf. Gue harap apa yang gue lakukan ini nggak
mengganggu elo, dan eeh.. juga cowok lo.” Berondong Aditya lepas. Plong!!! Hatinya lega.
Apa yang dipendamnya selama ini telah dikeluarkannya.
Seketika
tawa Rara berderai, geli.
”Kok, elo tertawa? Apa yang lucu dengan ucapan
gue barusan?”
”Elo..,” gelak Rara, masih dalam derai
tawanya. ”Elo lucu banget kalo lagi
serius.”
”Apanya?”
Adit kesal merasa ditertawai.
”Eh, gue nggak nyangka, ya. Ternyata elo bisa ngomong juga ya. Gue kira elo tuh type cowok cuek yang nggak bisa ngomong,” ujar Rara dibalik
sisa-sisa tawanya. Ada nada bahagia dalam ucapannya mengingat Ditya menyinggung-nyinggung soal cowok yang sebenarnya kakak sepupunya tersebut.
Ditya tersenyum kikuk menanggapi, tak mengerti. Hanya matanya lekat-lekat memperhatikan
sederet gigi-gigi Rara yang berbaris rapi. Alangkah manisnya.
”Dit, yang
elo maksud cowok yang tempo hari
bersama gue waktu kita bertemu di
Blok M waktu itu?”
Adit mengangguk lesu.
”Ngaco, ah! Dia itu Bimo, kakak sepupu gue, anak tante gue yang kebetulan lagi liburan
semester dari Akmil Malang. Baru seminggu ini dia tinggal di rumah gue,” beber Rara menerangkan.
Keterangan yang kontan membuat Adit seakan terlonjak dari tempat duduknya.
”Jadi,
bukan ...eh, cowok lo?” Adit menegaskan.
”Ngaco,
ah...” senyum Rara lagi. Pandangannya kembali diarahkan ke lapangan. Sesaat
kemudian Rara terdiam. Apa
yang disarankan mbak Ajeng sudah ia laksanakan semua. Ia tak bisa melangkah
lebih jauh lagi. Biar bagaimanapun dia masih memiliki harga diri. Dan harga
dirinya melarangnya untuk bersikap lebih jauh dari itu. Saat ini dia hanya bisa
berharap. Dan harapan itu rasanya semakin jauh saat disadarinya Aditya kembali
dalam diamnya. Putus asa, Rara bergegas beranjak.
”Ra...,”
tiba-tiba Aditya menahannya. Entah dari mana keberaniannya datang hingga
tiba-tiba saja tangannya telah menggenggam lengan Rara. Menahannya pergi. Dia
seakan baru tersadar dengan arti percakapan tadi. Baru sadar bahwa dirinya
terlalu sibuk dengan perasaannya sendiri. Menyadari dirinya terlalu pengecut untuk
mengambil resiko Rara bakal menolaknya.
”Elo tahu ‘kan gue nggak becanda? Soal
surat-surat gue itu...” Aditya terbata.
Rara tertegun. Tenggelam dalam kekeluan lidahnya yang datang tiba-tiba. ”Elo ingat surat gue sebelum yang terakhir kali?” sergah Aditya lagi.
Rara mengangguk,
matanya berbinar. Tentu saja dia ingat, bahkan hampir semua surat-surat itu pun
dia ingat.
”Boleh ga,
gue mengirimkan surat-surat kaya
gitu, lain kali?” setengah mati Aditya mengatakan kalimat tersebut. ”Boleh,
'kan?” harapnya lagi.
Rara terdiam. Hanya di bibirnya tersungging senyum tulus. Matanya mengerjap teduh. Mata yang tiba-tiba seperti mengucapkan seribu kata. Mata yang
lebih dalam menyiratkan makna, memberikan jawaban kepada Aditya. Dan
rasanya Aditya tak perlu lagi mendengar jawaban dari mulut Rara. Karena tanpa bicara
sepatah kata pun, Rara menjawabnya dengan membalas genggaman Aditya hangat,
sebelum sesaat kemudian mereka tersadar dan melepaskan genggaman tangan mereka
dengan senyum malu.
Dan
rasanya mereka tak perlu bicara apa-apa lagi, ketika relung-relung hati mereka
sama-sama menemui sebuah lorong di tempat mana hati mereka akhirnya bertemu.
Keduanya
tertawa berbarengan ketika bel pergantian jadwal pelajaran berbunyi. Dan mereka pun memasuki kelas bersamaan, sementara seisi
kelas menatap keheranan. Sekejap kemudian kelas mendadak riuh ketika seisi
kelas bersorak. Novi menatap bingung ke Rara.
Semantara Rara dan Aditya? Mereka hanya bisa berjalan menunduk dan tersenyum sipu, dengan wajah cerah
sumringah.
-Tamat-
Semester ganjil di Bendi Raya 47, 1987
(Oktober
1996)